Bireuen Kota Perjuangan

Dalam konteks inilah tentunya Angkatan 45 mulai sadar dan segera mengambil inisiatif untuk memasyarakatkan makna “Bireuen Kota Perjuangan”. Nah, peristiwa itu bermula pada hari Rabu tanggal 8 April 1987 diadakan “Apel Angkatan 45” bertempat di halaman rumah mantan Panglima Divisi Gajah I/Divisi X TNI Komandemen Sumatera, yaitu di kota Bireuen.

Sebelumnya para pejuang kumpul di hotel “Murni”, Bireuen. Acara dimulai dengan mengheningkan cipta dan lagu Indonesia Raya diteruskan sambutan Sesepuh Masyarakat Aceh/Menteri Koperasi/Ka. Bulog. H . Bustanil Arifin, SH., Mayjen A.R. Ramly (Dubes R l di Washington DC) dan Gubernur Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA.

Acara terpenting dalam apel itu adalah peletakan batu pertama monumen “Bireuen Kota Perjuangan” oleh Letnan Jenderal (Purn) H. Bustanil Arifin. Hampir seluruh pejuang Angkatan 45 terwakili dalam “apel kejuangan” itu, baik dari TNI yang masih aktif, purnawirawan, Laskar Pejuang, Tentara Pelajar, Pejoang Wanita, yang berdatangan dari seluruh daerah Aceh dan luar daerah Aceh, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan sebagainya. Tampak antaranya Mayjen (Purn) Sjamaun Gaharu, T.A. Hamid Azwar, mantan Gubernur Aceh Prof. A . Hasjmy, A . Muzakkir Walad, Prof. Ir. Isjrin Nurdin, Alwin Nurdin, Gedong, A l i Hasan AS, Hasan Saleh dan sebagainya.

Dari upacara berlangsung dengan syahdu terlihat adanya kesan yang jelas memadu tekad mengangkat makna dan nilai kejuangan “Bireuen Kota Perjuangan” sebagai alternatif untuk melanjutkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.

Berbicara tentang sejarah atau penemuan baru berdasarkan fakta dan realita adalah sesuatu yang lumrah dan wajar untuk diangkat ke permukaan. Jangan tinggal terpendam atau didiamkan. Ini satu prestasi. Bukan menyombongkan diri. Sikap ini memang perlu dikoreksi.

Bertolak dari pemikiran dan pertimbangan di atas, pengasuh Yayasan “Seulawah RI-001” yang menerbitkan buku sejarah ini, mengambil prakarsa untuk mulai menggali dan meneliti apa yang tersurat dan tersirat dari julukan “Bireuen Kota Perjuangan”. Meskipun dengan alat dan fasilitas serba terbatas.

Sejarah itu bermula sejak datangnya Bung Karno ke Tanah Rencong tanggal 15 Juni 1948 mendarat di lapangan militer Lhok Nga. Tanggal 16 dan 17 Juni 1948 Bung Karno sedang berada di Bireuen, menyaksikan kelengkapan alat perang dengan senjata berat yang masih utuh, membuat hati Bung Karno bangga dan terpesona.

Di kota Bireuen-lah pertama kali Bung Karno melakukan dialog dengan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk. Mohd. Daud Bereueh. Kemudian dialog itu berkembang kembali di pendopo Residen Aceh di Kutaraja. Dalam dialog di kediaman mantan Panglima Divisi X TNI itulah Bung Karno menjelaskan situasi dan perkiraan keadaan yang menimpa Republik Indonesia.

Berkata Presiden Soekarno: “Negara kita dalam keadaan gawat, pihak Belanda terus mendirikan negara-negara bonekanya di pulau Jawa dan Sumatera. Ruang gerak kita dipersempit dan sekarang hanya daerah Aceh satu-satunya wilayah Rl masih utuh yang tidak diduduki militer Belanda. Aceh menjadi penting sebagai alternatif’ satu-satunya yang menentukan kedudukan dan cita-cita bangsa/negara Rl. Karena itulah saya namakan Daerah Modal”, modal untuk melanjutkan perjuangan dan cita-cita kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17Agustus.”

Tinggalkan komentar